Kita mengalami pertumbuhan dari kecil, remaja hingga dewasa. Begitupula dengan negara Indonesia dan sistem demokrasi yang dianutnya. Selepas merdeka, perguliran kepemimpinan dilakukan berdasarkan mandaris yang kemudian berkembang menjadi reformasi.
Dalam pelaksanaan Sekolah Kader Pengawasan Partisipatif (SKPP) di Kota Bogor (26-28/8), Anggota Bawaslu RI, Fritz Edward Siregar mengatakan bahwa setiap perubahan dan perkembangan memiliki konsekuensi dan dinamikanya masing-masing. Sebut saja kebutuhan anggaran yang lebih besar. Pada Pemilu 2019, Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara teknis sampai 3 kali mengajukan perubahan anggaran.
“Setiap pilihan demokrasi dibangun berbarengan dengan konsekuensinya.” tutur Fritz.
Konsekuensi tersebut tentu harus dibarengi dengan bergeraknya negara ke arah yang lebih baik. Tentu beban itu baiknya tidak hanya dipikul oleh negara, melainkan secara bersama-sama sebagaimana porsi. Khususnya generasi muda yang tengah dalam fase kuat untuk melakukan perubahan. “Kalau bukan oleh generasi muda, oleh siapa lagi ? Generasi muda harus punya semangat melakukan perubahan” ajaknya menyemangati.
Anggota Bawaslu Provinsi Jawa Barat, Yusuf Kurnia menjelaskan bahwa perubahan yang dimaksud tidak harus menjadi bagian dari Bawaslu. Cukup menjaga, merawat, dan menegakkan demokrasi di lingkungan masing-masing. Paling tidak berani menolak tindakan yang mencederai nilai demokrasi. “Lebih baik jika sampai melaporkannya pada pengawas pemilu” ujar Yusuf.
Pembinaan melalui program SKPP itu sendiri menjadi modal tuk melakukannya. Langkah berani lain yakni menjadi auto koreksi terbaik bagi para penyelenggara itu sendiri. Karena mereka juga memiliki banyak keterbatasan di tengah godaan integritas. Seperti kasus Anggota KPU RI, Wahyu Setiawan.
“Menghadirkan electoral justice atau keadilan Pemilu juga dilakukan dengan memastikan siapapun yang diatur regulasi tunduk kepada undang-undang” tegasnya. (She)